Sabtu, 18 Desember 2010

Pendidikan Karakter (Character Education)

Penyunting : Hj. Nurul Auliah
(Dosen Tetap FKIP Uniska MAAB)
Pendahuluan

Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Menurut Mendiknas RI Mohammad Nuh, Pendidikan Karakter ini akan dilaksanakan di setiap Satuan Pendidikan selambat-lambatnya pada tahun 2014.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

 Photo Proses Pembelajaran salah satunya membentuk karakater kepribadian mulia
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu (berkarakter) yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Pengertian Pendidikan Karakter

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di semua jenjang sekolah.

Tujuan, Sasaran dan harapan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik di semua jenjang sekolah mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Jenjang Sekolah di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan sekolah memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan Sekolah, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1.      Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.      Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.      Menunjukkan sikap percaya diri;
4.      Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.      Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.      Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7.      Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.      Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.      Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10.  Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11.  Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12.  Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13.  Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14.  Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15.  Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16.  Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17.  Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18.  Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19.  Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20.  Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21.  Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Memahami Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang peserta didik akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
         Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
1.   Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
2.   Kemandirian dan tanggungjawab;
3.   Kejujuran/amanah, diplomatis;
4.   Hormat dan santun;
5.   Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong / kerjasama;
6.   Percaya diri dan pekerja keras;
7.   Kepemimpinan dan keadilan;
8.   Baik dan rendah hati, dan;
9.   Karakter toleransi, kedamaian, persatuan dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Selanjutnya Menurut Foerster Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), Ia menyatakan ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengaruh Pendidikan Karakter

Apa Pengaruh pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam bulletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Pemerhati Pendidikan Karakter Ratna Megawangi menyatakan salah satu solusi untuk membuat pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan melakukan pendidikan karakter karena pendidikan moral biasanya hanya menyentuh aspek pengetahuan saja dan belum sampai pada aspek perilaku. "Pendidikan karakter dapat membentuk perilaku yang baik, jujur, dan berakhlak mulia," kata salah satu pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF).
Menurut dia, kondisi Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, sering kali terjadi tindak kekerasan, korupsi, manipulasi, kebohongan, dan konflik. Hal itu menjadi bukti bahwa institusi pendidikan belum dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.20/2003 tentang Sisdiknas.
Ia menilai salah satu kegagalan pendidikan di Indonesia karena sistem pendidikan nasional belum mempunyai kurikulum pendidikan karakter, namun hanya ada mata pelajaran tentang pengetahuan karakter (moral) yang tertuang dalam pelajaran Agama, Kewarganegaraan, dan Pancasila. "Apalagi proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik hanya hafalan sehingga tidak bisa mengubah perilaku menjadi baik," katanya.
Ia menyatakan upaya yang dilakukan oleh binaan IHF yang bergerak di bidang pendidikan karakter dengan melaksanakan model "Pendidikan Holistik Berbasis Karakter" di tingkat TK, SD, SMP, dan TK nonformal Semai Benih Bangsa (SBB), memiliki tujuan membangun manusia utuh yang cakap menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta memiliki kesadaran emosional dan spiritual.
"Pendekatan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah konvensional sangat berbeda dengan sekolah karakter. Sekolah konvensional hanya dengan pendekatan menghafal dan metode drilling atau rote learning, katanya. Oleh karena itu, pihak sekolah dan guru memiliki peranan yang penting agar pendidikan karakter bisa dilakukan di sekolahnya sehingga para peserta didiknya memiliki sifat yang jujur, bertanggung jawab, santun, hormat, dan kasih sayang. "Peran serta orang tua dan lingkungan sekitar juga penting agar anak memiliki perilaku yang baik," ucapnya.
Selanjutnya Fasli Djalal menyatakan bahwa hampir semua kurikulum sekolah mengajarkan soal kejujuran, memiliki moral yang baik, bertanggung jawab, tidak merusak lingkungan, dan lainnya, seperti pelajaran Agama, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pancasila, dan Matematika. "Sebenarnya tidak usah ada kurikulum pendidikan karakter juga bisa asalkan guru di setiap mata pelajaran bisa mengajarkan tentang perilaku yang baik kepada anak didiknya," katanya. Namun, untuk menjadikan peserta didik memiliki perilaku yang baik cukup sulit tanpa ada peran dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Menurut dia, saat ini Kemendiknas tidak mengatur tentang kurikulum apa saja yang harus ada di sekolah. Namun, pengaturan kurikulum diserahkan kepada masing-masing sekolah, sesuai dengan kompetensi pengajaran dan kelulusan siswa.

Pendidikan Karakter Ideal

Karakter ideal ialah seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan yang baik. Hal ini seperti Firman Allah dalam QS : Al Ahzab ayat 21 sebagai berikut :


 21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Hadist Rasulullah SAW

Innama buistu li utammima makarimal akhlaq (sengaja aku di utus ke dunia ini untuk memuliakan ahlaq).

Rasulullah SAW mempunyai karakter STAF mustahil KKKB

Karakter STAF (Sidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah)

Sidiq          artinya ;   benar, jujur,
Tabligh       artinya ;   menyampaikan (informasi), mampu berkomunikasi,
Amanah      artinya ;   dipercaya
Fathonah    artinya ;   cerdas baik rohani maupun jasmani.
                                 Cerdas rohani meliputi ; cerdas intelektual (akal sehat), cerdas emosional (perasaan), dan cerdas spiritual (sehat hati / hati yang bersih).
                                 Cerdas jasmani meliputi ; cerdas fisik (sehat badan), cerdas skill.

Mustahil KKKB (Kidzib, Kitman, khiyanah, Baladah).

Kidzib        artinya ;   dusta / bohong,
Kitman       artinya ;   menyembunyikan (informasi), stagnasi komunikasi.
Khiyanah    artinya ;   membelot, ingkar janji.
Baladah      artinya ;   bodoh yakni ; berprilaku melanggar HAM, berprilaku melanggar norma-norma (baik norma adat, norma hukum, atau norma agama).

Menurut Aisyah radiallahuanha, menyatakan bahwa Akhlaq Rasulullah SAW ialah Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan demikian jika berpedoman pada Al qur’an dan Al Hadits, berarti kita berprilaku mencontoh Rasulullah SAW dengan mempunyai karakter ideal.

Sehubungan dengan hal di atas, pendidikan karakter hendaklah berpedoman pada Al Qur’an dan Al Hadits Rasulullah SAW. Orang yang mampu mengamalkan pendidikan karakter demikian, hanyalah mereka-mereka yang diberi Taufik dan hidayah, serta Redha dan Inayah Tuhan YME.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar