Sabtu, 18 Desember 2010

Pendidikan Karakter dan Era Globalisasi

Penyunting : Hj. Nurul Auliah
Dosen Tetap FKIP Uniska MAAB

Memasuki Era Globalisasi

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) menyatakan ada sembilan karakter bangsa yang harus dijadikan pegangan dalam menghadapi arus globalisasi.
"Karakter dibangun dari kebiasaan yang merupakan representasi dari kebudayaan, sedangkan identitas adalah pencerminan dari karakter yang membedakan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, Untuk itu, Jero Wacik berharap bahwa Univeritas di Indonesia yang memiliki pusat kajian budaya daerah, dapat memberikan rekomendasi yang mampu menjawab berbagai tantangan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Kebudayaan harus dilestarikan dalam arti dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan agar kebudayaan tetap berfungsi dalam menata dan mengatur kehidupan manusia.
Sembilan karakter tersebut yakni ; yakin dan berani membela Pancasila, UUD, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, mengutamakan kepentingan rakyat dan negara, berwawasan nasionalisme, pluralisme da humanisme, menghormati guru, santun beretika dan tidak arogan, berpikir dan bertindak positif, pantang menyerah, memiliki kesetiaan, serta berjiwa sosial. Sesungguhnya baangsa Indonesia mempunyai modal dasar yang kuat dalam daya saing karena memiliki karakteristik yang bersifat terbuka, toleran, transformatif dan adaptif.

Pondasi Peradaban Bangsa

Salah satu pondasi kesuksesan peradaban bangsa ialah pendidikan karakter. Fasli Jalal (Wamendiknas) menyatakan bahwa arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan negara, ialah bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”
Dari bunyi pasal tersebut, Fasli Jalal menyatakan bahwa telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Ia menyatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu menurutnya bahwa sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Ia menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture, di mana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut Iapun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Fasli Jalal juga menyatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasarana, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan. Prihal pengembangannya sendiri, Ia melihat bahwa kearifan lokal dan pendidikan di pesantren dapat dijadikan bahan rujukan mengenai pengembangan pendidikan karakter, mengingat ruang lingkup pendidikan karakter sendiri sangatlah luas.
Sehari sebelum acara yang digelar di UPI ini ( 31/05), di Ruang Rapat Komisi X, DPR-RI, diadakan Rapat Kerja yang membahas pendidikan karakter. Hadir dirapat tersebut selain 25 anggota fraksi, adalah Menkokesra, Mendiknas, Menag, Menbudpar, Menpora, Wamendiknas, Perwakilan Kementerian Dalam Negeri, serta para pejabat eselon 1 kementerian terkait.
Dalam Rapat Kerja tersebut dibahas mengenai kesiapan masing-masing kementerian mengenai pendidikan karakter tersebut. Menkokesra sebagai koordinator perumus pendidikan karakter ini menyebutkan bahwa setiap kementerian yang terikat memiliki program-program berencana mengenai pendidikan karakter yang nantinya diajukan sebagai bahan untuk mengagas lahirnya Keppres mengenai pendidikan karakter. Menkokesra pun menyebutkan bahwa nantinya pendidikan karakter ini akan dijadikan aksi bersama dalam pelaksanaannya.
Para anggota fraksi pun melihat pendidikan karakter ini sangat penting dalam membentuk akhlak dan paradigma masyarakat Indonesia. Semoga pendidikan karakter ini tidak hanya menjadi proses pencarian watak bangsa saja, melainkan sebagai corong utama titik balik kesuksesan peradaban bangsa.

Membangun Keberadaban Bangsa

Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidak penting, Ukuran tubuhmu juga tidak penting, Ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak” Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap; kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian.
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakkan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Melalui layanan yang terbaik dari data atau kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia........ Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. 

 
Pribadi santun dari Mohammad Nuh selaku pendidik, menyayangi anak-anak peserta didik



Mohammad Nuh (Mendiknas RI) dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei tahun ini mengambil tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Sebuah tema strategis yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa. Perilaku kekerasan, vandalisme, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.
Dalam situasi demikian, bangsa dan negeri yang besar ini perlu diingatkan kembali pada nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud untuk tenggelam ke dalam romantisme masa silam, yang jelas bangsa kita perlu belajar pada nilai-nilai kearifan lokal masa silam sebagai basis perilaku untuk memasuki pusaran arus global yang makin rumit dan kompleks sehingga bangsa kita sanggup menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan pijakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Negeri kepulauan yang memiliki kemajemukan dalam soal etnis, bahasa, budaya, ras, dan berbagai kekuatan primordial lainnya itu sejatinya bisa membangun sebuah kesenyawaan peradaban yang menggambarkan mosaik keindonesiaan yang toleran, demokratis, bermartabat, berbudaya, dan beradab.
Namun, secara jujur mesti diakui, 65 tahun hidup merdeka, bangsa kita justru kian tenggelam dalam cengkeraman budaya pragmatis, instan, dan bar-bar, yang dinilai telah gagal memerdekakan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Di tengah capaian pembangunan yang demikian pesat secara lahiriah, rohaniah bangsa kita justru kering-kerontang; tak sanggup membebaskan diri dari ketertindasan dan kesewenang-wenangan. Merebaknya perilaku tak beradab, seperti korupsi, penggusuran, main hakim sendiri, dan berbagai aksi kekerasan lainnya bisa menjadi bukti bahwa bangsa kita belum sepenuhnya bisa hidup merdeka. Pekik “merdeka!” hanya lantang diucapkan di atas mimbar dan podium orasi. Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak warga bangsa yang harus mengais rezeki dari tong-tong sampah, tidur di emper-emper toko, dan harus main kucing-kucingan dengan Satpol PP ketika mereka mencari peruntungan di trotoar atau alun-alun kota. Dengan dalih menjaga ketertiban dan kenyamanan kota, elite negeri ini rela berbuat biadab terhadap sesamanya dengan menggusur dan menistakan rakyat kecil yang hidup susah dan terlunta-lunta.
Merebaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme di atas panggung sosial negeri ini sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari karakteristik kekuasaan yang (nyaris) tak pernah berpihak kepada “wong cilik”. Hukum hanya menjadi milik mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Melalui “hamba-hamba” hukum yang bisa mereka ajak untuk berselingkuh dan kongkalingkong, mereka bisa dengan mudah melakukan rekayasa kasus agar perilaku korup dan jahat yang mereka lakukan tak tersentuh oleh hukum. Sebaliknya, rakyat kecil yang tak berdaya bisa dengan mudah diperdayai dan dijebloskan ke penjara hanya karena maling coklat, kapuk randu, atau semangka, yang hanya sekadar dijadikan sebagai alat pengganjal perut. Akumulasi kekecewaan dan rasa tidak puas terhadap karakteristik kekuasaan yang semacam itu, disadari atau tidak, telah menumbuhkan semangat kolektif untuk melakukan “perlawanan” dengan melakukan aksi-aksi jalanan yang tak jarang menimbulkan situasi chaos dan berdarah-darah.
Di tengah situasi masyarakat yang chaos dan berdarah-darah semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.
Setidaknya, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan kita.
Pertama, membangun keteladanan elite bangsa. Sudah bertahun-tahun lamanya, semenjak rezim Orba berkuasa, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kaum elite kita, diakui atau tidak, hanya pintar ngomong di atas mimbar pidato, tetapi implementasi tindakannya ibarat “jauh panggang dari api”. Mereka ngomong “berantas korupsi dan mafia hukum”, tetapi realitas yang terjadi justru proses pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Mereka berteriak “membela wong cilik”, tetapi kenyataan yang terjadi justru peminggiran peran dan penggusuran rakyat kecil di mana-mana. Insitusi pendidikan tak akan banyak maknanya apabila kaum elite kita hanya berada “di atas menara gading kekuasaan”, miskin keteladanan, dan hanya sibuk bermain akrobat untuk mempertahankan kekuasaan semata.
Kedua, memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak disahkannya UU Guru dan Dosen, menjadi lebih “bergengsi” dan bermartabat. Setidak-tidaknya, guru yang dinyatakan sudah lulus sertifikasi sudah bisa menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sesungguhnya bukan hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan guru, melainkan juga pemberdayaan dari ranah kompetensi yang selama ini masih menyisakan tanda tanya. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial– yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter lintas-mata pelajaran. Artinya, pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru secara menyeluruh dan terpadu.
Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai tokoh masyarakat, agama, hingga media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi yang selama ini telah menjadi “tuhan” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan sinetron mistik atau entertaintment yang serba glamor, hingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dan basis pendidikan karakter dalam hidup dan kehidupannya.

Quo Vadis Pendidikan Karakter

Masalahnya, quo vadis (ke manakah perginya) pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan di Tanah Air tercinta ?
Siapa yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan. Itu jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan banyak lagi.
Namun, pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun internasional. Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Agaknya, fakta yang ada menunjukkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia sudah sangat penting untuk dicanangkan kembali dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2010. Hal ini pun mengingat, kritik terhadap pendidikan formal yang ada di Indonesia sudah banyak dilontarkan. Misalnya, pendidikan di Indonesia disebut-sebut hanya melahirkan ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak memiliki karakter.
"Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta orang, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang," kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya.
Dalam seminar pendidikan bertajuk Pendidikan dan Dunia Kerja yang digelar HMI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pemimpin SNF Consulting itu menilai bahwa fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia sangat formalistik.
"Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta jiwa dengan penduduk miskin cukup besar itu membutuhkan pendidikan karakter," ucapnya. Penulis sejumlah buku pendidikan dan kewirausahaan itu menyatakan, karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri. "Kalau pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter," ujarnya.

Penerapan Pendidikan Karakter

Mohammad Nuh menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah menyusun grand design pendidikan karakter bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan pendidikan telah mengembangkannya pada 2014.  Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendiknas, Mansyur Ramli, pada Seminar Nasional Pendidikan Karakter Bangsa di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, (September 2010). "Pusat kurikulum sampai saat ini sudah membentuk master trainer yang diharapkan melatih para guru, kepala sekolah, dan pengawas untuk bisa menghidupkan atau menjadi pioner pendidikan karakter bangsa di satuan pendidikan," kata Mansyur Ramli saat membuka seminar tersebut.
Mansyur menyatakan optimistis pendidikan karakter dapat segera diimplementasikan pada satuan pendidikan. Sekurang-kurangnya, kata dia, 25 persen satuan pendidikan mulai menerapkan pada 2012. "Sudah banyak satuan pendidikan, perguruan tinggi, berbagai tokoh masyarakat, dan pemerhati pendidikan yang sudah mengembangkan karakter bangsa melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal," ujarnya.
Mansyur mengemukakan, hampir semua perguruan tinggi telah mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Berbagai satuan pendidikan, kata dia, juga telah menerapkannya dengan bermacam cara seperti kantin kejujuran di sekolah, melalui nilai-nilai keagamaan dan budaya.
Selanjutnya Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. Sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan.
“Diantara karakter yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran,” kata Mohammad Nuh saat memberikan sambutan acara Hardiknas dengan tema peringatan Hardiknas adalah Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa.
Mohammad Nuh mencermati fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat. Fenomena anomali yang sifatnya ironis paradoksal menjadi fenomena keseharian, yang dikhawatirkan pada akhirnya dapat mengalami metamorfose karakter.
“Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan, betapa tidak mengherankan, penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian dari fenomena sirkus tadi itu. Itu semua bersumber pada karakter,” 
Di sela-sela orientasi peningkatan kapasitas kelembagaan dan penyelenggaraan program pendidikan masyarakat di Surabaya, Dewi Hughes selaku praktisi pendidikan dan sebagai presenter berbagai mata acara televisi itu menilai pendidikan karakter tidak boleh ada secara khusus.
"Karakter itu enggak boleh khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran, misalnya pendidikan budaya, agama, ekonomi, matematika, kewirausahaan, dan sebagainya," tutur pemilik PKBM/TBM E-Hughes itu. Misalnya, pelajaran ekonomi atau kewirausahaan harus diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan sebagainya. "Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti Pancasila atau budi pekerti, saya kira pendidikan karakter akan justru sulit masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan," ucapnya. Oleh karena itu, katanya, kurikulum untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di dalamnya.
Pandangan itu dibenarkan pengamat pendidikan dari ITS Surabaya, Daniel M Rosyid PhD. "Dalam dua dekade terakhir, pendidikan di Indonesia mengalami dis-orientasi, karena pendidikan di Indonesia justru mengarah kepada dunia industri seperti yang pernah terjadi di Amerika dan Inggris pada 30 tahun lalu," katanya. Padahal, kata mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim itu, disorientasi dalam dunia pendidikan di Indonesia itu justru menjauhkan pendidikan dari dunia industri. "Saya kira, disorientasi harus diatasi secara de-schooling atau mengarahkan pendidikan sebagai ihtiar dalam pelayanan atas kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat pelajar dan orangtua mereka," katanya.
Agaknya, pendidikan di Indonesia sudah saatnya untuk memihak kepada kompetensi, baik kompetensi keahlian maupun kompetensi karakter; bukan hanya kompetensi matematika, kimia, fisika, dan sejenisnya, melainkan justru dua kompetensi, yakni keterampilan dan karakter.
Menurut Fasli Jalal Pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter yang bakal digencarkan dan diberi perhatian khusus dalam praksis pendidikan nasional ini dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah. Jadi, pendidikan karakter yang hendak kita terapkan secara nasional tidak membebani kurikulum yang ada saat ini. Pendidikan karakter yang didorong pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat.
"Kita mintakan pada guru supaya nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler itu disampaikan dengan jelas pada siswa. Pendidikan karakter itu bisa terintegrasi juga menjadi budaya sekolah. Jadi, pendidikan karakter yang hendak kita terapkan secara nasional tidak membebani kurikulum yang ada saat ini," jelas Fasli Jalal.
Pendidikan karakter yang diminta yang dapat membangun wawasan kebangsaan serta mendorong inovasi dan kreasi siswa. Selain itu, nilai-nilai yang perlu dibangun dalam diri generasi penerus bangsa secara nasional yakni kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi, dan disiplin.
Menurut Fasli, sekolah bebas untuk memilih dan menerapkan nilai-nilai yang hendak dibangun dalam diri siswa. Bahkan, pemerintah mendorong muculnya keragaman bentuk pelaksanaan pendidikan karakter.
Program-program di sekolah seperti pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.
Untuk menyukseskan program pendidikan karater, pemerintah menggelar pelatihan bagi 263 ribu pengawas dan kepala sekolah. Selain itu, setiap tahun akan dilaksanakan pertemuan nasional untuk membahas pendidikan karakter.

Pendidikan Karakter Ideal

Sekali lagi bahwa di era globalisasi saat ini masih relevan tentang karakter ideal yang dijadikan panduan untuk memperoleh hasil maksimal (efektif) dalam proses kegiatan pendidikan karakter.
Karakter ideal ialah seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan yang baik. Hal ini seperti Firman Allah dalam QS : Al Ahzab ayat 21 sebagai berikut :


21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Hadist Rasulullah SAW

Innama buistu li utammima makarimal akhlaq (sengaja aku di utus ke dunia ini untuk memuliakan ahlaq).

Rasulullah SAW mempunyai karakter STAF mustahil KKKB

Karakter STAF (Sidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah)

Sidiq          artinya ;   benar, jujur,
Tabligh       artinya ;   menyampaikan (informasi), mampu berkomunikasi,
Amanah      artinya ;   dipercaya
Fathonah    artinya ;   cerdas baik rohani maupun jasmani.
                                 Cerdas rohani meliputi ; cerdas intelektual (akal sehat), cerdas emosional (perasaan), dan cerdas spiritual (sehat hati / hati yang bersih).
                                 Cerdas jasmani meliputi ; cerdas fisik (sehat badan), cerdas skill.

Mustahil KKKB (Kidzib, Kitman, khiyanah, Baladah).

Kidzib        artinya ;   dusta / bohong,
Kitman       artinya ;   menyembunyikan (informasi), stagnasi komunikasi.
Khiyanah    artinya ;   membelot, ingkar janji.
Baladah      artinya ;   bodoh yakni ; berprilaku melanggar HAM, berprilaku melanggar norma-norma (baik norma adat, norma hukum, atau norma agama).

Menurut Aisyah radiallahuanha, menyatakan bahwa Akhlaq Rasulullah SAW ialah Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan demikian jika berpedoman pada Al qur’an dan Al Hadits, berarti kita berprilaku mencontoh Rasulullah SAW dengan mempunyai karakter ideal.

Sehubungan dengan hal di atas, pendidikan karakter hendaklah berpedoman pada Al Qur’an dan Al Hadits Rasulullah SAW. Orang yang mampu mengamalkan pendidikan karakter demikian, hanyalah mereka-mereka yang diberi Taufik dan hidayah, serta Redha dan Inayah Tuhan YME.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar